EKI Production
Manggarai, Jakarta Selatan.
Kawasan ini identik dengan banyak hal. Ada stasiun kereta Manggarai. Ada pintu air Manggarai yang kerap dicek Gubernur DKI menjelang musim banjir. Juga Pasar Rumput dengan rumah susunnya yang dijadikan tempat isolasi pasien covid-19, saat gelombang kedua pandemi menyerang. Manggarai mengingatkan banyak orang pada tawuran antar kampung yang berlangsung sejak tahun 1970-an, lengkap dengan para premannya. Dan tak ketinggalan Manggarai itu biang macet kusut tanpa kenal waktu.
Di kawasan penuh cerita inilah, EKI Dance Company memulai kisahnya pada tahun 1996. EKI didirikan oleh Aiko Senosoenoto dan Rusdy Rukmarata yang memberikan sebagian besar ruang di rumah mereka sebagai tempat latihan. Markas besar EKI berada di Jalan Padang no.32, yang entah bagaimana seakan terpisah dari huru-hara Manggarai. Tempat ini bisa ditempuh dengan jalan kaki selama 15-20 menit dari Stasiun Manggarai. Jika Anda sudah mencapai Pasaraya Manggarai, Anda hanya perlu berjalan 5 menit saja, karena studio EKI berada tak jauh di belakangnya.
Sejak dua puluh lima tahun lalu, para penari EKI telah digembleng oleh sejumlah nama besar dalam dunia tari. Mulai dari Rudy Wowor (alm.), Elly Raranta (alm.) & Andi Bachtiar (alm.), Edmund Gaerland, Iko Sidharta, Yudhistira Sjuman, Chichi Kadijono juga Rusdy Rukmarata. Hingga sebelum masa pandemi, EKI kerap kedatangan guru-guru tamu dari luar negeri. Maestro Andrew Greenwood dan Eirini Kreza adalah beberapa di antaranya yang membantu memoles kemampuan para penari EKI.
Pada awal tahun 1990-an, Aiko dan Rusdy kesulitan membuat sebuah karya pertunjukan, karena sulitnya mengumpulkan penari-penari dalam satu waktu yang sama.
“Pada saat itu banyak penari di Indonesia harus mengambil kerja sampingan agar bisa survive, karena mengandalkan penghasilan sebagai penari saja tidak cukup. Dengan kondisi waktu latihan yang kurang, penari Indonesia tidak akan bisa mencapai kualitas seperti penari di luar negeri. Padahal, bakatnya jauh lebih besar,” ujar Rusdy, koreografer lulusan London Contemporary Dance School.
Aiko dan Rusdy akhirnya sepakat untuk memulai semuanya dari bawah. Mulai dari melatih anak-anak muda yang umumnya bermodal ‘senang menari’ saja, hingga siap menjadi penari profesional. Tantangan yang mereka hadapi bukan hanya sebatas mengasah teknik saja, namun juga membentuk karakter.
“Awalnya saya masuk EKI karena memang senang nari. Tapi di sisi lain, rasanya waktu itu nggak ada tujuan hidup. Kalau waktu itu saya nggak masuk EKI, mungkin hidup saya sekarang sudah berantakan,” ujar Lilies, penari kelahiran Cirebon yang telah bergabung bersama EKI sejak 25 tahun lalu. Selain Lilies, beberapa penari lain juga datang dari latar belakang yang suram. Ada yang pecandu narkoba, terlibat kenakalan remaja, broken home, dan lain-lain.
Bukan hanya memiliki ‘keragaman masalah’, penari EKI juga berasal dari berbagai etnik, status sosial, dan juga status pendidikan. Ada penari yang datang dari kawasan elite Jakarta Selatan dan Utara, tetapi ada juga penari yang berasal dari pedesaan di Jawa dan Bali. Ada yang fasih berbahasa Inggris, tetapi ada juga yang cukup berantakan bahasa Indonesianya.
Untuk menyiapkan para penari menjadi profesional, mereka juga dibekali berbagai kelas tambahan selain tari. Mulai dari kelas vokal yang dulu diajar oleh Max Rukmarata (alm.), kini diajar oleh Michael Da Lopez dan Siska Napitupulu. Sujiwo Tejo dan Nanang Hape memberikan dasar-dasar teater sejak awal berdirinya EKI. Sonja Rukmarata (alm.) memberikan pelajaran Bahasa Inggris agar kelak para penari dengan kondisi beragam latar belakang ini siap berlaga di panggung internasional.
“Semangat Karmawibhangga yang saya adopsi adalah bahwa “setiap orang adalah manusia yang harus dihormati dengan setara, tanpa memandang kekurangan dan kelebihannya,” tutur Rusdy.
Keberagaman latar belakang yang dimiliki para penari EKI adalah kekayaan. Dari mereka mengalir inspirasi yang tak ada habisnya. Kondisi para penari ini juga mencerminkan semangat karmawibhangga yang disematkan pada nama EKI. Karmawibhangga adalah sebuah relief di Candi Borobudur yang menggambarkan kondisi manusia yang terikat hawa nafsu hingga melakukan berbagai tindakan kejahatan seperti pencurian, pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, pengguguran kandungan, dan lainnya. Relief yang kini terkubur [ apakah masih terkubur atau sudah bisa dilihat lagi? Please check] ini menebarkan paham keterbukaan pemikiran dan potret yang jujur dari masyarakat pada zamannya.
Untuk membentuk karakter penari profesional, disiplin menjadi hal yang sangat penting. Pada masa awal berdirinya EKI, belasan penari digembleng dalam sebuah ruang yang luasnya hanya sekitar 5×5 meter persegi. Ruang itu persis di sebelah kamar Aiko dan Rusdy. “Saat itu mereka latihan, makan dan tidur di ruang yang sama,” kenang Aiko. Setelah bangun pagi, mereka harus menumpuk kasur-kasur busa yang mereka gunakan, agar ruangannya dapat dibersihkan untuk latihan. Tentu, mereka piket bergiliran membersihkannya. Mereka juga bergiliran mengatur makan pagi, siang dan malam, agar tak ada yang kehabisan jatah.
“Belajar disiplin dan hidup teratur sangat penting untuk membentuk mental penari profesional,” ujar Rusdy.
Penari EKI memiliki jam malam. Selambat-lambatnya, setiap jam 11 malam mereka sudah harus berada di dalam kamar dan beristirahat. Mereka juga tidak boleh sembarang makan makanan instan, merokok dan juga tidak boleh diet. Setiap jam 9 pagi, para penari sudah dalam kondisi siap untuk berlatih. Mereka sudah harus makan pagi dan melakukan pemanasan sendiri sebelum masuk kelas.
Dengan cinta yang begitu besar pada dunianya, belasan penari EKI masih bertahan dari tahun 1996 hingga sekarang menjalani rutinitasnya di bawah naungan EKI. “Hanya dengan cinta, kita bisa menunjukkan dedikasi pada bidang yang kita tekuni. Ada proses dan waktu yang harus dilalui supaya kita bisa disiplin dan teratur dengan jadwal yang sudah ada. Saat ini dengan banyaknya jenis tarian, butuh dedikasi dari tiap penari untuk bisa memiliki karakter, ” kata Takako Leen
Sebelum pandemi, jika Anda kebetulan melintas di Jalan Padang sekitar jam 9 pagi, Anda bisa mendengar alunan musik klasik pengiring kelas balet di studio EKI. Beberapa pejalan kaki, tukang sayur dan ibu-ibu yang mengerumuninya, terkadang ikut menikmati musik itu sambil menonton dari jauh kelenturan para penari melakukan plié, pointe, hingga arabesque.
Di masa pandemi, latihan-latihan di EKI tetap berjalan meski dengan berbagai penyesuaian. Latihan ini tetap dimungkinkan karena hingga kini seluruh penari EKI tinggal dalam asrama. Jika biasanya mereka berlatih dalam studio yang sama, selama pandemi mereka berlatih di tiga ruangan yang berbeda. Setiap ruangan diberi fasilitas zoom sehingga dua ruangan lain bisa melihat pengajar di ruangan utama. Dengan cara inilah mereka terus menjaga kondisi mereka agar tetap prima selama pandemi,
“Di asrama ini menjalankan protokol kesehatan yang sangat ketat. Seluruh penghuni asrama juga dilarang keluar asrama, jika tidak ada kepentingan mendesak. Ketika ada salah satu di antara kami yang bergejala, sesegera mungkin teman sekamarnya akan dites antigen juga serta diberlakukan isolasi mandiri hingga sembuh. Sejauh ini, masih aman,” kata Kresna ‘Peceng’ Wijaya, penari yang besar di Bali, yang juga ketua asrama penari EKI. Seluruh penari dan staf yang tinggal di asrama juga telah mendapat vaksinasi.
Jika dua puluh lima tahun yang lalu para penari tinggal dan berlatih dalam ruang yang sama, kini mereka tinggal di Asrama tiga lantai EKI dengan satu lantai untuk kamar-kamar penari perempuan, satu lantai untuk penari laki-laki, ruang keluarga, dan beberapa ruang penunjang kegiatan sehari-hari lainnya.
Penari senior, penari junior dan penari basic (istilah untuk penari yang masih dalam tahap belajar), hidup dalam sebuah harmoni di kawasan Manggarai. Mereka terus berlatih, berkarya dan mengukir cerita-cerita yang akan menjadi kenangan indah untuk 25 tahun berikutnya dan berikutnya.
Mungkin buat banyak orang Manggarai itu kawasan gersang. Tapi di kawasan inilah karya-karya seni tercipta, puluhan anak muda tumbuh kembang dan berkarya dalam seni.
Datanglah.